Jumat, 23 April 2010


BANDA ACEH - Pemerintah Aceh menantang perbankan untuk berani mengucurkan kreditnya ke sektor pertanian. Lima tahun terakhir, peran lembaga keuangan tersebut dinilai masih sangat minim. Padahal bank diharapkan bisa menjadi penopang kebangkitan pertanian Aceh seiring berakhirnya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami. Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, Husni Bahri TOB, ketika memberi sambutan dalam acara Worksop Analisa Kredit dan Risk Managament Agrobisnis di Hotel Oasis, Banda Aceh, Rabu (21/4), mengungkapkan, tumbuhnya sektor pertanian di Aceh dua tahun terakhir disebabkan oleh adanya bantuan dari donor dan NGO yang terkait dengan kegiatan rehab rekons. “Keterlibatan bank selama ini sangat minim sekali. Bank hanya mengumpulkan uang masyarakat Aceh tetapi tidak menginvestasikan (mengucurkan kredit) di Aceh. Seharusnya uang itu dikucurkan juga di Aceh,” ucap Husni kepada wartawan usai acara tersebut. Minimnya keterlibatan bank tersebut juga terlihat dari share (sumbangan) kredit perbankan ke sektor pertanian. Sebagaimana diberitakan koran ini kemarin, data Bank Indonesia (BI) Banda Aceh menunjukkan, lima tahun terakhir, share kredit pertanian tak pernah melampaui angka tiga persen dari total penyaluran kredit. Pemerintah Aceh kata Husni, sudah berulangkali mengajak dan mengimbau perbankan agar mau mengucurkan kreditnya ke sektor pertanian. “Kita sudah berulangkali sarankan, tapi yang namanya bank, berisiko ya ditinggalkan,” pungkasnya. Ubah pola pikir Disinggung mengenai peran BPD Aceh dan BPRS Mustaqim, yang notabene-nya merupakan perusahaan perbankan milik daerah, Husni menyatakan bahwa pemerintah Aceh telah berupaya maksimal. Hal itu terlihat dari besarnya porsi kredit BPD dari keseluruhan kredit yang dikucurkan perbankan di Aceh. “Mungkin selama ini yang banyak mengucurkan kredit di Aceh (adalah) Bank BPD. Bank BPD Aceh itu kan satu dari sekian banyak bank di Aceh. Yang lainnya mana?,” tanyanya lagi. Memang diakui, perbankan masih takut mengucurkan kredit ke sektor pertanian. Salah satunya disebabkan oleh historis (sejarah) yang jelek, dana banyak yang macet karena tidak dikembalikan oleh petani. Namun sekarang, dia menilai sudah saatnya bagi perbankan untuk mengubah pola pikir tersebut dan mengalihkan pembiayaannya dari sektor jasa-jasa (konsumtif) ke sektor pertanian. “Sekarang yang terpenting adalah bagaimana caranya membangun kepercayaan bank kepada petani,” ucap Husni Bahri TOB. Karena itu, kegiatan (workshop) yang dilaksanakan kemarin dinilainya sangat penting karena akan mendidik AO (Account Officer) tentang cara menganalisis kelayakan kredit sektor pertanian dan disamping itu, petani juga akan diajarkan tentang tata cara membuat proposal yang baik. Rekonstruksi ulang Kegiatan workshop kemarin diikuti oleh 13 BPR/BPRS di seluruh Aceh dan 4 koperasi serba usaha (KSU). Workshop khusus dilaksanakan untuk BPR dan koperasi karena lembaga keuangan ini dinilai memiliki akses yang paling dekat ke masyarakat. Acara pelatihan berlangsung hingga 23 April 2010. Salah satu pemateri utama yang dihadirkan adalah Ahmad Subagio dari Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Pusat. Kepada Serambi dia menjelaskan, melalui kegiatan workshop ini diharapkan bisa merekonstruksi kembali kredit mikro pertanian sehingga BPR mengetahui secara benar bahwa kredit pertanian itu berbeda dengan kredit di sektor lainnya.(yos)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayok dukung kami